Catatan Penting untuk Negara ; Bencana Sumatera di Tanah Gayo
![]() |
| Kondisi Masyarakat dari Aceh Tengah dan Bener Meriah ke Aceh Utara via jalan KKA untuk mencari Sembako |
Tulisan ini lanjutan dari tulisan pertama tentang perjalanan saya selama berada di lokasi Bencana di Tanoh Gayo. Pertama, negara perlu membangun arsitektur komando bencana yang tegas dan otomatis. Setiap bencana dengan dampak lintas kabupaten dan akses strategis—seperti Tanoh Gayo—harus langsung berada di bawah kendali komando nasional yang dipimpin satu otoritas dengan kewenangan penuh. Komando ini harus memiliki mandat langsung untuk menggerakkan TNI, Polri, BNPB, Kementerian Perhubungan, Pertamina, Bulog, hingga BUMN logistik tanpa menunggu koordinasi berjenjang yang berlarut. Dalam situasi darurat, keterlambatan satu hari saja berarti memperpanjang penderitaan ribuan warga.
Kedua, Bandara Rembele harus ditetapkan sebagai simpul logistik dan udara darurat nasional saat bencana. Negara tidak boleh menjadikan bandara hanya sebagai titik kedatangan pejabat, tetapi sebagai pusat operasi: gudang logistik, pos BBM udara, dan base heli. Minimal beberapa helikopter harus disiagakan penuh selama masa tanggap darurat, bukan datang-pergi tanpa keberlanjutan operasi. Dengan jarak tempuh yang singkat ke dua kabupaten, optimalisasi udara sebenarnya dapat memutus isolasi wilayah dalam hitungan jam, bukan minggu.
Ketiga, negara harus memiliki protokol jaminan BBM saat bencana. Kelangkaan BBM di tengah operasi penyelamatan adalah kegagalan sistemik. Pemerintah pusat perlu memastikan distribusi BBM khusus untuk operasi kemanusiaan, alat berat, dan transportasi udara sebagai prioritas absolut. Tanpa BBM, helikopter, alat berat, dan kendaraan logistik hanyalah besi tak bernyawa. Ini bukan soal teknis semata, tetapi soal keberpihakan kebijakan.
Keempat, pengerahan pasukan zeni dan batalyon bantuan terdekat harus menjadi prosedur baku, bukan opsi. Wilayah Gayo dengan karakter geografis pegunungan dan longsor membutuhkan kehadiran pasukan zeni untuk membuka akses darat darurat, membangun jembatan sementara, serta menyiapkan titik pendaratan heli. Mengandalkan sumber daya lokal yang terbatas dalam bencana sebesar ini adalah keputusan yang tidak adil bagi daerah.
Kelima, negara perlu membangun skema distribusi logistik berbasis masyarakat. Pengalaman di lapangan menunjukkan warga siap menjadi bagian dari solusi. Negara bisa menetapkan titik-titik drop logistik terakhir yang dapat dijangkau kendaraan, lalu mengorganisir warga dan relawan secara sistematis untuk menjangkau wilayah terisolir. Pola ini jauh lebih cepat dan murah dibanding menunggu akses jalan sepenuhnya pulih, sekaligus memperkuat rasa kehadiran negara di tengah masyarakat.
Keenam, untuk mencegah krisis berkepanjangan, pemerintah pusat harus mengendalikan rantai pasok dan harga kebutuhan pokok di wilayah sekitar Gayo. Kerja sama dengan pedagang di Aceh Utara dan Lhokseumawe untuk membawa sembako ke titik-titik terdekat harus difasilitasi negara, dengan pengawasan harga yang ketat. Membiarkan warga berjalan puluhan kilometer hanya untuk membeli beras dan BBM adalah potret kegagalan perlindungan sosial dalam kondisi darurat.
Ketujuh, bencana ini perlu diakhiri dengan audit nasional penanganan bencana Tanoh Gayo. Audit ini penting bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk membongkar titik-titik lemah sistem: komando, logistik, komunikasi, dan pengambilan keputusan. Hasil audit harus dibuka ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dan pijakan perbaikan ke depan.
Pada akhirnya, bencana di Tanoh Gayo harus dipahami sebagai peringatan keras bagi negara. Ketangguhan masyarakat tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi kehadiran negara. Justru di situlah negara seharusnya hadir paling kuat: ketika rakyat berada dalam kondisi paling lemah. Jika pelajaran ini tidak diambil, maka yang akan datang bukan hanya bencana alam berikutnya, tetapi krisis kepercayaan terhadap negara itu sendiri.
Negara seharusnya belajar dari peristiwa ini. Bencana di Tanoh Gayo bukan semata soal hujan, longsor, atau medan yang sulit, melainkan soal ketiadaan komando nasional yang bekerja cepat dan efektif. Kepala daerah tidak mungkin dipaksa memikul beban lintas wilayah dan lintas sektor sendirian, terlebih ketika akses udara, logistik strategis, dan pengerahan pasukan berada sepenuhnya di tangan pusat. Dalam situasi seperti ini, negara tidak cukup hadir melalui kunjungan pejabat dan konferensi pers, tetapi harus hadir dalam bentuk keputusan cepat, otoritas tunggal, dan distribusi sumber daya yang nyata di lapangan.
Ke depan, wilayah-wilayah rawan bencana seperti Tanoh Gayo harus diperlakukan sebagai zona prioritas mitigasi nasional, bukan sekadar wilayah administratif kabupaten. Negara perlu memastikan adanya skema komando darurat yang otomatis aktif saat bencana besar terjadi: penempatan unsur TNI–Polri dalam jumlah memadai, dukungan zeni dan logistik, penguasaan rantai pasok BBM, serta optimalisasi transportasi udara dengan helikopter yang standby, bukan sekadar singgah. Tanpa itu, setiap rencana mitigasi hanya akan berhenti di atas kertas.
Lebih dari itu, negara mesti menempatkan masyarakat bukan sebagai objek penderita, tetapi sebagai mitra utama penanganan bencana. Warga yang siap berjalan kaki puluhan kilometer, mengangkut logistik dengan segala keterbatasan, adalah modal sosial yang luar biasa. Namun modal ini hanya akan efektif jika negara hadir mengorganisir, memastikan logistik tersedia, jalur distribusi jelas, dan harga kebutuhan pokok tetap terkendali. Membiarkan warga bertahan dengan swadaya setelah berminggu-minggu bencana adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa dibenarkan.
Bencana ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara: kehadiran negara tidak boleh bergantung pada cuaca politik atau kalender kunjungan pejabat. Ketika rakyat berjalan kaki membawa beras dari Aceh Utara ke Gayo, sesungguhnya yang sedang diuji bukan hanya ketangguhan warga, tetapi wibawa dan kapasitas negara itu sendiri. Jika pelajaran ini kembali diabaikan, maka bencana berikutnya hanya akan mengulang cerita yang sama—dengan korban yang mungkin lebih besar.


